Seberapa Subjektif Kita Selama Ini?
Waktu semester 7, gue musuhan banget sama satu mata kuliah yang namanya Konstruksi Alat Ukur Psikologi (KAUP). Walaupun nggak punya datanya, tapi gue yakin diatas 60% dari anak Psikologi UI juga merasakan hal yang sama.
Intinya sih, mata kuliah ini ngajarin kita cara bikin alat tes psikologi dengan membuat alas tes secara langsung. Kebetulan waktu angkatan gue, tugas ini jadi tugas kelompok (4–5 orang), dan kita diminta untuk bikin 2 alat tes dalam satu semester. Proses pembuatan 1 alat tes kurang lebih 2–3 bulan, dari mulai bikin latar belakang alasan kenapa pembuatan alat tes itu jadi penting untuk dilakukan, nyari alat tes sebelumnya yang mirip dan mungkin bisa diadaptasi, bikin kalimat pertanyaannya, uji keterbacaan, uji reliabilitas, validitas, dan direvisi terus sampe nilai realibilitas dan validitasnya mencapai angka yang diinginkan. Karena kalo nggak revisi berulang-ulang, takutnya pertanyaan itu nggak menanyakan apa yang harusnya ditanyakan.
Personally, bagian revisi pertanyaan yang berulang-ulang ini jadi bagian yang paling painful. Karena kita dituntut untuk membuat pertanyaan yang mengukur suatu sifat manusia, tapi gaboleh terpengaruh sama budaya, apalagi opini subjektif kita masing-masing. Kalo masih belum kebayang susahnya, dosen gue aja bikin alat tes bisa sampe 2 tahun karena harus berulang-ulang revisi, nah ini kita diminta harus selesi 3 bulan, ajaib kan.
Terlepas dari segala permusuhan itu, gue sebagai mahasiswa mau nggak mau harus tetep bikin alat tes itu sebagai prosedur untuk lulus matkul ini. Ya.. walaupun menjalaninya dengan setengah hati, berkat kelompok gue yang kooperatif…. alhamdulillah gue bisa lulus KAUP dengan nilai yang cukup memuaskan.
Masuk semester 8 saat nyusun skripsi, gue mulai ngerasain manfaat dari matkul KAUP. Karena udah belajar dari kesalahan sebelumnya, jadi pas ngerjain skripsi, apapun variabel yang mau gue pake di skripsi harus jelas dulu alas tesnya, karena kalo udah panjang-panjang bikin penjelasan tentang variabel penelitian di BAB 2 dan tiba-tiba ga ada alat ukur yang sesuai (baik dari teori, reliabilitas, validitas, dsb), mandegg dong sayah ga bisa ambil data…
Begitu lulus kuliah, ternyata manfaat kaup ini jauh lebih besar dari yang gue bayangin. Tapi sebelum cerita lebih lanjut, coba deh liat 2 gambar dibawah!
Menurut kalian lebih terang warna kotak kecil yang di kiri atau yang dikanan?
Buat kalian yang jawab kotak kiri lebih terang dari kotak kanan, sayang sekali kalian salah.
Buat kalian yang jawab kotak kanan lebih terang dari kotak kiri, sayang sekali kalian juga salah.
Kedua kotak itu nggak ada bedanya kok!
Gue pribadi saat liat gambar itu pertama kali, merasa kalo kotak kecil yang disebelah kiri lebih terang dari kotak kecil yang ada di kanan. Trus pas dikasih tau kalo keduanya sama aja, ya agak kaget sih dan baru sadar kalo gue ngeliat kotak kecil yang disebelah kanan lebih terang karena dia ada ditengah kotak besar yang lebih gelap. Begitupun sebaliknya.
Sebenernya eksperimen barusan ngasih kita insight bahwa kotak yang kiri gak akan terlihat lebih terang kalo disekitarnya ga ada kotak yang lebih gelap. Begitupun di lingkungan, kita jadi sulit nilai sesuatu dengan objektif ketika disekelilignya ada yang mempengaruhi.
Misalnya, gue udah punya geng dari SMP yang sampe lulus kuliah aja masih suka nongkrong bareng, geng ini terdiri dari gue, si A, si B, dan si C. Suatu hari ada sales bernama T, nawarin gue untuk join fitness club yang fasilitasnya oke, dan lagi ada promo cash back 30% kalo join di September. Sebelum nge-iyain tawaran si T, seperti biasa gue curhat dong ke si A, si B, dan si C untuk minta pendapat mereka tentang fitness club ini. Ternyata si A udah pernah join fitness club itu dan cerita ke gue tentang keburukan fitness club tersebut.
Tanpa pikir panjang, ya gue ga jadi join deh karena takut dapet pengelaman yang sama kaya si A. Yap, persepsi gue terhadap fitness club itu mendadak jadi lebih buruk karena dipengaruhi sama opini satu sahabat gue yang udah temenan sejak SMP, tanpa ngecek review dari orang lain atau bahkan sekedar nyobain free trialnya.
Satu setengah bulan kemudian gue liat fitness club itu masuk di top 3 fitness club terbaik di Jakarta Selatan yang direkomendasiin sama banyak trainer, dan harganya udah naik 50%. Ya gue cuma bisa nyesel karena ga join dari dulu akibat terpengaruh omongan satu sahabat gue yang ternyata sangat subjektif.
Gimana, udah kebayang betapa subjektifnya kita dan gampang dipengaruhi lingkungan? Kalo belum cukup yakin dengan contoh sebelumnya, coba liat gambar di bawah ini!
Coba fokusin pandangan kalian ke titik putih yang ada di tengah kotak merah dan hijau selama 40 detik. Setelah itu, langsung pindahin fokus kalian ke titik putih yang ada di tengah kedua gambar gurun.
Gimana, ada perubahan di gambar gurunnya?
Saat gue ngeliat gambar itu, setelah 40 detik memfokuskan diri ke titik yang ada diantara kotak hijau dan merah, gambar gurun yang tadinya normal berubah jadi merah dan hijau.
Eksperimen ini sebetulnya mau ngebuktiin kalo pandangan kita aja bisa berubah, mengikuti hal yang kita fokusin terus-menerus selama beberapa saat. Begitu pun realitanya di lingkungan, manusia nggak bisa bener-bener objektif dalam menilai sesuatu karena pandangannya selalu terpengaruh dengan hal yang ada disekelilingnya.
Tapi di dunia profesional, manusia yang ga luput dari subjektivitas ini sering dituntut untuk membuat sesuatu jadi lebih objektif, kaya misalnya nilai performa temen sendiri di tim, dan nilai performa orang lain di kelompok lain. Kalo kita subjektif, itu menyangkut reputasi dan urusan nafkah keluarganya loh. Oleh karena itu kita perlu mengubah perspektif kita jadi lebih objektif dengan bikin standar penilaian atau bahkan alat tes. Biar semuanya jelas, yang dibilang baik itu yang seperti apa, dan yang dibilang baik banget itu seperti apa. Itulah yang membuat gue merasa beruntung pernah belajar tentang membuat alat tes yang terbukti valid, dan proses pas pembuatannya nggak boleh terpengaruh sama budaya, apalagi opini subjektif kita masing-masing.
Tapi nggak disangka, konsep objektivitas yang diajarin di KAUP ternyata bisa juga diterapin ke hal simpel kaya misalnya, dengan sceptic terhadap suatu opini yang berasalnya cuma dari satu orang. Sehingga, untuk percaya bahwa fakta itu benar, kita perlu perspektif lain tentang hal tersebut. Gausah jauh-jauh, dari kalimat kedua di paragraf pertama, menurut kalian itu bener nggak? coba cek lagi ya, siapa tau itu opini subjektif gue aja haha!