Gimana Masa Depan Gen Z Setelah Pandemi?

Dinni Rahmawati
6 min readSep 27, 2020

--

Source Image: Newsbreak.com

Pernah nggak sih merasa excited karena mau ketemu temen, udah rapih, udah pesen ojek online, tapi tiba-tiba dicancel. Kesel nggak tuh?. Kekesalan itu terjadi karena ada ekspektasi kita yang dilanggar sama situasi. Situasi itu sama kaya yang pernah saya alami di awal tahun 2020. Udah excited keterima kerja di konsultan SDM, yang identik dengan business trip karena kliennya ada di berbagai daerah di seluruh Indonesia, eh taunya malah ada corona. Jangankan berharap bisa business trip, beberapa klien yang sudah kontrak terpaksa harus menunda rencananya karena kondisinya tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Kecewa sih, tapi kayanya kekecewaan saya nggak ada apa-apanya dibanding kekecewaan teman-teman Gen Z lainnya yang baru saja lulus dari kuliah dan excited mewujudkan mimpi besar untuk bisa membanggakan orang tuanya dengan memulai karir, tapi ternyata mereka harus berjuang begitu keras untuk bisa mendapat pekerjaan, karena banyak perusahaan yang membekukan preses rekrutmen selama Pandemi Covid-19 ini.

Nggak cuma itu, Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2020 sudah bertambah menjadi 60.000 orang sejak tahun 2019, dan pada bulan Juli 2020 Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan bahwa angka PHK akibat Pandemi Covid-19 sudah menembus angka 2,1 juta. Wow.. hampir setara dengan jumlah penduduk kota Bandung ya. Selain itu, hasil survey LIPI dan Balitbang Ketenagakerjaan Kemnaker dan Lembaga Demografi FEB UI yang dilakukan terhadap 2.160 responden pada 24 April-2 Mei, menunjukan bahwa korban PHK akibat Pandemi Covid-19 yang tertinggi adalah pegawai berusia 15–19 tahun yaitu sebesar 62,7% dan dilanjutkan dengan 27,7% pegawai berusia 20–24 tahun. Yap, kedua rentang usia tersebut adalah Gen Z yang lahir pada rentang tahun 1995–2012.

Hal ini salah satunya disebabkan karena kami sebagai Gen Z belum punya banyak pengalaman di dunia kerja. Oleh karena itu, perusahaan lebih memilih untuk mempertahankan pegawai yang sudah lebih berpengalaman dalam menyelamatkan perusahaan pada kondisi ini.

Selain kesulitan mendapat kerja, menjadi korban PHK, Gen Z pada range usia lainnya juga mengalami tantangan berat lainnya. Menjalani Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara mendadak, pasti jadi hal yang nggak mudah untuk disesuaikan. Belum lagi untuk mereka yang sekarang ini ada di semester akhir kuliah. Saya bisa ngebayangin betapa burnout-nya saya kalau harus mengerjakan skripsi dengan kondisi harus di rumah aja. Karena salah satu faktor yang bisa bikin saya semangat ngerjainnya adalah dukungan sosial dan material dari teman-teman.

Okay, sampai sini saya semakin yakin bahwa kekecewaan yang saya tulis di paragraf pertama nggak ada apa-apanya dibandingkan kekecewaan teman-teman Gen Z lainnya yang belum mendapatkan kerja, menjadi korban PHK, dan harus PJJ akibat Pandemi Covid-19.

Adanya berbagai tantangan dan kekecewaan yang dialami para manusia di masa Pandemi ini ternyata udah di-notice sama American Psychological Association (APA), dimana mereka mengadakan online survey mengenai mental health concern terhadap 3.458 orang dewasa dan 300 remaja. Hasilnya, (lagi — lagi) 75% Gen Z mengaku kalo mereka kena dampak stress yang signifikan saat pandemi, dan kalau dibandingin sama generasi lainnya, ternyata Cuma ada 45% (palig sedikit) Gen Z merasa mental health-nya baik-baik aja.

Source: American Psychological Association

Tapi coba deh kita flash-back sedikit, kalo di inget-inget kehidupan Gen Z Indonesia sudah diawali dengan krisis 1998 yang bikin keadaan ekonomi orang tuanya nggak stabil. Trus sekarang pas Gen Z udah lulus kuliah di tengah pandemi, eh malah dikasih cobaan ke dirinya sendiri, yaitu sulit mendapat kerja. Cobaan banget yaa hidup kami sebagai Gen Z…

Saya jadi penasaran, Gen Z yang dikasih treatment kaya gini sama dunia, kira-kira bakal seperti apa ya di masa depan?

Coba izinkan saya untuk merefleksikan pertanyaan tersebut ke diri saya sendiri dulu ya. Kalau yang saya rasain, hingga detik ini saya bersyukur karena dibesarkan bersama teknologi dan kecepatan akses informasi. Sejak SD saya sudah mengenal internet, yang berarti saya bisa ngakses berbagai informasi dengan sangat mudah. Hal ini bikin saya jadi sudah terbiasa untuk memilah informasi mana yang bisa dipercaya dan bisa saya konsumsi. Akhirnya kalo sekarang saya buka berita tentang pandemi, saya jadi lebih bisa memilah, berita mana yang memang perlu dipercaya dan dipertimbangkan, dan berita mana yang nggak jelas sumbernya dan cuma bikin panik aja. Ternyata hal ini juga disampein sama David Stillman dan Jonah Stillman, pasangan bapak dan anak yang merupakan generational experts sekaligus founder dari Gen Guru. Mereka juga bilang hal ini bisa bikin kami para Gen Z jadi lebih tepat dan objektif dalam mengambil keputusan di masa depan, karena keputusan kami sudah melalui analisis dari berbagai informasi.

Selain refleksi diri, saya mau coba jawab pertanyaan tadi dari perspektif lain deh. Beruntungnya, saat tulisan ini dibuat Deloitte baru aja mengumumkan hasil “The Deloitte Global Millennial Survey 2020”. Disclaimer dulu, walaupun judulnya Millennial Survey, tapi partisipannya para millennials dan Gen Zers ya. Salah satu insight yang menurut saya paling menarik adalah dari 18.426 responden di 43 negara, 71% Gen Z mengaku kalau dirinya sudah terlibat dalam menyelesaikan isu sosial untuk membantu memperbaiki dunia. Berbeda dengan Gen sebelumnya, Gen Z punya komitmen yang tinggi dan purpose-driven untuk berkontribusi ke perubahan dunia. Hal ini tentu masih nyambung dari bahasan kita sebelumnya mengenai proses tumbuh kembangnya Gen Z yang beriringan dengan kemudahan informasi, sehingga menyebabkan kami jadi mudah terpapar dengan berbagai update mengenai kondisi dunia saat ini yang akhirnya mendorong kami untuk doing something impactful for this world.

Dari segala tantangan yang dihadapi Gen Z dan berbagai fakta mengenai keunggulan Gen Z di saat ini, kira-kira apa ya yang menjadi keunggulannya Gen Z di masa depan setelah nanti berhasil melewati krisis ini?

Masih mengacu ke hasil survey dari Deloitte, ada dua hal yang diprediksi bisa menjadi keunggulan dari Gen Z di masa depan, yaitu resiliensi dan determinasi. Yap, pengalaman di awal karirnya yang dihadapkan dengan dunia yang begitu VUCA ini, Gen Z akan jadi generasi yang punya resiliensi tinggi, sehingga mampu menghadapi tantangan-tantangan lain yang ada di depan nanti. Selain itu, Gen Z yang tinggi dalam hal purpose-driven dan purpose-nya ditunjukkan untuk masyarakat, bisa membuat kami menjadi semakin determinan dalam mencapai berbagai life purpose kami.

Saya jadi ingat satu ayat Al-quran yang membahas ini, yaitu di surat Al-baqoroh ayat 155, yang artinya “Dan kami menguji kamu dengan dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan, dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.

Ayat tersebut bisa kita artikan bahwa hanya orang-orang yang mampu bertahan untuk menyelesaikan tantangan hidup dan mampu bangkit kembali, yang akan mendapatkan kesenangan sebagai balasan atas keberhasilannya menghadapi masalah.

Jadi, untuk kita para Gen Z, dunia tidak selamanya seperti ini. Percaya deh, akan ada masa di mana kita bisa memetik buah yang manis dari apa yang sudah kita lalui hari ini.

Penasaran nggak sih sama buah yang nanti bakal kita petik? Sama, saya juga. Kita coba eksperimen yuk!

Coba sama-sama kita tuliskan apapun keluhan, masalah, tantangan yang lagi kita hadapi saat ini. Jangan lupa untuk menuliskan proses yang kita lakuin dalam menjawab tantangan tersebut. Setelah kita tulis, kita simpan baik-baik dalam sebuah amplop dan foto amplopnya untuk di-upload di insta story atau instagram post dengan hashtag #2020toldme. Setelah itu, setahun kedepan pasti instagram akan kasih kita notification memori 1 tahun yang lalu. Nah, saat kita dapat notif tersebut, waktunya kita baca ulang dan merefleksikan masalah yang kita hadapi sudah kasih pelajaran apa aja ya di hari yang sama di tahun 2021. Buat Gen Z yang udah lebih digital, dan gak cocok dengan tulis menulis, saya sarankan untuk menuliskannya di email. Kemudian set email tersebut untuk dikirim ke email kita sendiri setahun kemudian.

Kaya gini nih contohnya

Dari situ kita bisa melihat, kira-kira buah apa ya yang sudah kita dapatkan dari tantangan yang berhasil kita lalui.

Kalau merasa buahnya belum cukup manis, jangan khawatir, coba cari tau perspektif orang lain mengenai buah tersebut. Kadang kita sebagai manusia suka memandang diri kita lebih rendah dari apa yang sebenarnya.

Yuk coba bareng-bareng!

Ohiya, terima kasih ya sudah membaca tulisan ini. Semoga ada sedikit manfaat yang didapat.

Stay cool and safe in your lovely nest, everyone!

--

--

Dinni Rahmawati
Dinni Rahmawati

No responses yet