Career Break in Your 20s: 4 Things to Consider Before Taking a Career Break
Tepat di hari ini, genap 2 bulan gue resign dari kantor dan memutuskan untuk career break.
Gak sedikit orang terdekat gue yang kaget dengan keputusan ini, mengingat saat itu posisi gue sudah cukup strategis di perusahaan, teamwork yang dibangun juga udah sangat baik, dan udah cukup banyak juga legacy yang gue tinggalkan. Kalo kata orang “Mo nyari apa lagi sih lo?”
Jawabannya, mo ngasih jeda ke diri gue, sambil mempersiapkan mental, kognitif, dan fisik sebelum gue memulai S2 di September nanti.
Yap, menurut gue pun ini bukan keputusan yang mudah. Ada banyak pertimbangan yang mondar-mandir gue pikirin selama proses pengambilan keputusan. Tapi ya ujung-ujungnya gue tetap memutuskan kalo gue harus ambil career break.
Buat kalian yang sedang mempertimbangkan untuk career break juga, kali ini gue mau share beberapa hal yang gue pertimbangin pada saat proses perencanaannya.
Semoga membantu!
1. Bulatkan Niat!
Ada banyak faktor yang jadi pertimbangan pada saat gue membuat keputusan, baik itu faktor eksternal maupun faktor internal. Kedua faktor tersebut gue coba breakdown, dan gue scoring dengan Weight Decision Matrix. Intinya kita perlu tau dulu komponen atau faktor apa aja yang menurut kita penting untuk dipertimbangkan dalam karier. Trus setiap komponen tsb bisa kita kasih skor untuk membedakan level urgensinya, dan selanjutnya tinggal kita tentuin aja skor untuk Stay Vs Career Break. Oh ya, 2 opsi ini juga bisa kalian ubah sesuai dengan kebutuhan. Misalnya Stay Vs pindah ke company X, dsb.
Nah kalo udah diisi, kurang lebih ya kaya gini bentuknya:
Bisa dilihat perbandingan skor akhirnya tipis banget ya bedanya…
Oleh karena itu gue rasa kalo cara objektif kaya gini aja nggak cukup, karena pastinya ada hal-hal lain yang mungkin perlu gue pertimbangkan tapi nggak tercover di situ. Jadi gue memutuskan untuk coba minta pendapat dari orang terdekat, curhat sama Allah lewat doa dan solat istikharah, dan akhirnya pelan-pelan muncul berbagai petunjuk yang bikin gue semakin yakin untuk career break.
Salah satu petunjuk lain yang meyakinkan gue secara signifikan adalah satu cerita kenalan yang gue temui pas naik gunung Rinjani. Dia cerita kalo dia baru aja meninggalkan kariernya di Jakarta dan bangun bisnis kecil-kecilan di kampung halaman, demi bisa hidup dekat dengan keluarganya. Dengan modal seadanya, dia memulai bisnis warung nasi berdua dengan Ayahnya di depan rumahnya. Setelah hampir setahun berbisnis, dia udah bisa merekrut 2 karyawan tambahan karena pembelian semakin ramai. Bonusnya, hatinya jadi lebih tenang dalam menjalankan pekerjaannya, karena bisa deket sama keluarga, dan mengatur waktu bekerja lebih fleksibel, sehingga bisa jalan-jalan lebih leluasa (yes, dia hobi banget traveling).
Di momen itu ada kalimat dia yang ngebuka mata gue,
“Kadang saya gemes sama manusia, kita tuh suka ketakutan sama sesuatu yang udah jelas-jelas dijanjiin sama Allah. Kan udah jelas kalo rejeki, jodoh, maut itu sesuatu yang udah ditetapkan Allah untuk setiap umatnya, jadi kenapa kita mesti takut? Lagian kan rejeki bentuknya bukan cuma uang”.
Setelah denger kisah dan kata-kata dari dia, gue jadi lebih yakin kalo rezeki setiap manusia itu udah ditetapkan sama Allah, jadi kalo gue menghindari career break cuma karena takut gada income, itu mindset yang salah. Selain itu, gue juga mulai sadar kalo ternyata mungkin selama ini gue belum mendefinisikan makna “cukup” dengan baik, karena cenderung mendefinisikan rejeki dengan sesuatu yang sifatnya materil. Padahal rejeki itu bisa banyak bentuknya, salah satunya adalah badan yang sehat, keluarga yang sehat dan harmonis, itu juga rezeki.
Overall, dalam membulatkan niat, kita harus bisa pake variable yang objektif, tapi juga jangan juga mengabaikan variabel yg subjektif. Karena kita sebagai manusia pasti punya natural survival instinct dan intuisi tentang kemana kita harus melangkah.
2. Buat Rencana Finansial
Nah ini part yang paling banyak ditanyakan pada saat gue cerita sama orang terdekat kalo gue mau karier break. “Trus nanti income lu gimana?”.
Nah, karena gue memang tidak punya rencana terstruktur untuk mencari income selama career break, part ini emang perlu kita bahas pake pendekatan yang realistis sih.
Tiap orang pasti punya definisi “cukup” nya masing-masing. Kalo gue sendiri, saat ini gue udah merasa cukup karena gue udah punya proteksi (asuransi pribadi), investment yang bisa ngasih gue return 5%-6% dalam setahun (gapapa kecil yang penting stabil), dan dana tabungan yang bisa menghidupi gue selama kurang lebih setahun ke depan. Jadi, definisi cukup untuk gue saat ini adalah 3 level dari piramida finansial itu udah secure menurut gue.
“Trus aset sama dan rencana jangka panjang keuangan gimana?”
Nah itu sesuatu yang udah mulai kepikiran, tapi belum mau gue pikirin. Gue coba remind diri gue kaya “nanti aja dulu ya din, satu-satu..”. Untuk jangka panjang, gue lebih fokus mikirin skillset apa yang harus gue dalami dan olahraga apa yang mesti gue tekuni, supaya gue bisa tetep produktif dalam jangka panjang. Jadi di dalam monthly budgeting, gue selalu kasih budget untuk education & wellness, yang biasanya gue pake buat beli buku, ikut kelas, beli course, dan lain sebagainya.
Kalo ditanya strategi mengatur keuangan gue kaya gimana, supaya bisa securing 3 level financial itu, ya set financial target and budgeting bulanan si, walaupun tiap bulan presentasenya kaya suka-suka gue aja. In general, kalo versi gue, kebutuhan personal 20% — 30%, proteksi 5%, tabungan / investasi 30–40%, sisanya buat orang tua & orang lain 30% — 40%.
Salah satu temen gue yang saat ini kerja sebagai auditor di Big 4 pernah bilang kalo dia baru pernah tuh liat komponen expense, yang lebih besar di kebutuhan orang lain, trus dan tetep chill. Menurut gue balik lagi si ke prinsip masing-masing orang mau punya tujuan apa di dunia ini. Kalo gue prinsipnya, mencari uang sebanyak-banyaknya, buat dibagiin sebanyak-banyaknya wkwk. Makanya itu juga yang bikin gue ga bisa disiplin banget sm budget. Kadang kalo ada chance untuk bagi-bagi tapi diluar budget, yaudah gapapa. Alhamdulillah sampai skrg masih aman azaa.
3. Buat Rencana Kegiatan
Buat yang udah baca tulisan gue tentang konsep Objective Key Result yang gue terapin di dalam kehidupan personal, pasti sedikit banyak udah kebayang seberapa terstruktur gue dalam merencanakan segala sesuatu dalam kehidupan. Tapi yang cukup berbeda dalam konsep perencanaan gue kali ini, bukan cuma sekedar merencanakan untuk dilakukan, tapi untuk menemukan hal baru untuk diri gue, sebelum akhirnya menentukan apa yang gue lakukan selanjutnya.
Nah, dalam rangka menemukan hal tersebut, gue mencoba untuk menerapkan framework design thinking. Buat yang udah sering denger tentang design thinking, pasti kalian tau kalo ada beberapa “mazhab” yang mencoba untuk menjelaskan tahapan dari design thinking. Tapi dari semua mazhab, gue melihat mereka punya cycle yang sama, yang intinya: empathize, define, try & evaluate. Dari situ akhirnya gue mencoba membagi perencanaan gue selama career break ini menjadi 3, yaitu fase re-discovery (2 bulan), define (2 bulan), ideate and test (2 bulan atau mungkin lebih).
Saat ini gue harusnya udah memasuki fase define ya..
Tapi ternyata di fase re-discovery ini, semakin banyak belajar, gue semakin merasa sedikit banget ya hal yang gue pahami tentang dunia ini~. Akhirnya, gue jadi merasa masih bwanyakk hal yang ingin gue pelajari.
Sampai saat ini gue masih mencoba menikmati proses re-discovery yang gue jalanin.. Nggak berusaha ngepush diri gue untuk mengikuti rencana yang ada, tapi tetap berusaha tracking progress dengan cara mencatat hal-hal yang gue temui, supaya nggak nyasar kesana kemari.
All in all, cara pandang gue akan rencana itu gue nggak berubah sama sekali. Gue tetap yakin kalo punya rencana itu penting. Tapi cara gue mencapai rencana-rencana tersebut yang sedikit gue ubah. Saat ini gue berusaha lebih flowing, dari pada forcing. Anggap aja ini kaya lagi marathon, bukan sprint.
4. Izin Orang Tua
Ridho Allah = ridho orang tua
Ini juga salah satu part yang paling menegangkan. Karena selama ini memang orang tue gue nggak pernah menyaksikan gue yang menganggur dan banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi gue takut aja dinamika baru ini bisa menyebabkan konflik hahah.
Akhirnya gue presentasikan lah coret2an tentang rencana kegiatan yang akan gue tekuni selama career break, supaya mereka paham kalau anaknya itu punya rencana lohh..Nggak kosong-kosong amat..
Tapi ya dari semua plan kegiatan yang gue siapin, hal pertama yang mereka tanya adalah “Trus kamu kalo gada income gimana? Kan mau persiapan berangkat ke USA…”
Nah di situ lah pentingnya financial planning dan pitching skill yang baik ya. Untung aja gue udah bikin financial plan juga sebelumnya. Long story short, setelah gue cerita tentang semua rencana gue, akhirnya mereka menizinkan, dan sampe sekarang sih mereka terlihat happy aja ya.
Yap itu dia 4 hal yang menurut gue perlu dipertimbangkan saat ingin memutuskan untuk career break. Sampai 2 bulan menjalani career break emang pasti ada ups and down-nya, tapi saat ini gue masih merasa apa yang gue jalanin lebih banyak menimbulkan emosi positif, daripada emosi negatif.
Kalo dibayangin tuh rasanya kaya lagi solo trip ke Osaka. Pastinya dari semua itinerary yang udah disiapin, ternyata ada aja unexpected experience baik yang positif ataupun negatif. Tiba-tiba dibawa muter-muter sama taxi lah biar argonya lebih mahal, tiba-tiba di-cat calling sama mas-mas di stasiun lah, tiba-tiba nemu fashion item sale sampe ½ harga, tiba-tiba nemu takoyaki enakk, semuanya bisa terjadi. Tapi ya ngejalaninnya dibawa enjoy aja, karena gue tau endingnya gue bakal punya cerita unik yang bisa jadi pelajaran dan dikenang.
Kalo kalian sendiri gimana, apakah ada variabel lain yang menurut kalian perlu dipertimbangkan?
Tulis di kolom komentar ya!